Minggu, 13 September 2009

Label Sekolah (tidak) Menjawab Masalah ?

Saat ini bermunculan sekolah dengan aneka nama atau label. Mulai dari Sekolah Mandiri, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Harapan pendirian sekolah dengan label mampu menjawab masalah setelah peserta didik lulus sekolah.

Pendidikan

Sekolah merupakan lembaga pendidikan. Ada banyak definisi pendidikan. Dari sekian banyak definisi, ada definisi pendidikan mampu menjawab masalah setelah lulus sekolah. Tokoh pendidikan Jean Piaget berpendapat, pendidikan merupakan penghubung dua sisi, disatu sisi individu yang sedang tumbuh dan disisi lain nilai sosial, intelektual dan moral yang menjadi tanggung jawab pendidik untuk mendorong individu tersebut.


Dari definisi tersebut jelas bahwa pendidikan pada hakekatnya adalah jembatan bagi individu sebelum terjun ke masyarakat. Dalam pendidikan individu dengan segala potensinya diolah agar memiliki bekal diri saat masuk dalam masyarakat. Dan, peran guru adalah sebagai pendorong.


Berbicara peran guru bagi peserta didik selama menempuh pendidikan dapat dianalogikan seperti induk ayam yang hendak menetaskan telurnya. Induk ayam mengerami telur. Induk ayam bertugas menciptakan kondisi (temperatur) ideal agar telur dapat menetas dengan bagus. Temperatur yang ideal, tidak boleh terlalu tinggi atau panas, dan juga tidak boleh terlalu rendah atau dingin.


Maka telur dapat menetas dengan bagus jika temperatur ideal tercipta. Peran guru dalam sekolah (kelas) menciptakan temperatur ideal bagi anak. Guru tidak boleh terlalu kaku sehingga peserta didik takut untuk berekspresi dan beraktualisasi diri. Namun, jika guru terlalu “lembek” maka anak semaunya sendiri, bahkan melawan guru.


Guru perlu berperan menjaga temperatur. Maka penciptaan temperatur ideal perlu dijaga dengan dinamis. Guru bukan pada wilayah menentukan “nantinya anak”. Tetapi guru menciptakan iklim motivasi bagi peserta didik. Pengalaman-pengalaman negatif anak perlu diaktualisasikan dengan kemampuan lebih dalam diri. Pengalaman positif anak diolah agar tidak menjadi sombong tetapi dipkai sebagai pemicu untuk terus berkarya dengan segala potensi.



Belajar

Penciptaan temperatur ideal tersebut berkait erat dengan belajar. Dalam hal belajar, ada dua proses yang terjadi dalam pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak menurut Jean Pieaget. Pertama, proses asimilasi, dalam proses ini menyesuaikan atau mencocokan informasi yang baru itu dengan apa yang telah in ketahui dengan mengubahknya bila perlu. Kedua, akomodasi, anak menyusun dan membangun kembali atau mengubah apa yang telah diketahui sebelumnya sehingga informasi yang baru itu dapat disesuaikan dengan lebih baik.


Selama proses belajar peserta didik hanya diajar untuk menghafal materi pelajaran. Peserta didik diajarkan bagaimana menyimpan sebanyak-banyak informasi dalam pikiran. Padahal, daya tampung otak kiri peserta didik sangat terbatas selain itu daya lekatnya lemah, dan sementara. Maka peserta didik hanya hafal dan mampu menyelesaikan masalah atau soal saat ujian. Setelah ujian lupa bahkan hilang sama sekali.


Sekolah dengan sistem pembelajaran demikian membentuk anak hanya pandai menghafal bukan pandai berpikir. Cerdas menggunakan berbagai informasi dalam otak. Peserta didik lemah dalam mengakomodasi bagi kebutuhan hidup. Peserta didik mengalami kesulitan dalam mengasimilasikan berbagai pengetahuan selama belajar di sekolah.



Perluasan

Sebetulnya dengan sekolah yang telah ada peserta didik dapat menjawab permasalah. Dengan kesadaran bahwa belajar tidak cukup hanya menghafal tetapi perlu menggali untuk menemukan. Lalu, belajar menghasilkan sesuatu berkaitan dengan ilmu dan kehidupan. Terus dibagikan kepada teman, guru, sekolah dan publik. Hal tersebut mampu mempersiapkan peserta didik untuk menjawab masalah riil, bukan hanya menjawab soal-soal tes.


Perubahan sosial terus membutuhkan penyikapan. Anak mampu menyikapi perubahan sosial hanya dengan pembelajaran dengan fokus penyelesaian masalah. Untuk pembelajaran perlu mengalami perluasan, salah satu perluasannya adalah pembelajaran bermakna.


Menurut Robert Bala (Kompas, 12 Juni 2009) pembelajaran tidak berhenti pada aspek pengetahuan (to know), dan keahlian ( to be able) tetapi merambah daya eksplorasi (to study) dan harapan (to hope). Dua hal terakhir ini sungguh perlu segera didorong pada semua tingkatan, mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi.


Demikian pula, peserta didik sebagai individu terikat erat dengan interaksi sosial, maka individu perlu memiliki ketrampilan sosial. Perluasan kognitif, afektif dan psikomotor yang selama ini menjadi patokan perlu diarahkan menjadi sosio-kognitif, sosio-afketif dan sosio-psikomotor.


Artinya ketiga komponen dalam individu perlu diinteraksikan bagi lingkungan sekitar dimana pun individu berada. Bukan hanya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor dipakai dan dimiliki secara indivu. Yang lebih memprihatinkan dipakai untuk kepentingan material semata. Itulah yang terjadi saat ini.




Sosio Adaptif

Tantangan ke depan bagi dunia pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik mampu beradaptasi dengan dinamika sosial suatu masyarakat berdasar kesejatian dirinya. Upaya persipannya dengan menerapkan ketrampilan sosial dalam setiap mata pelajaran dan di tiap jenjang pendidikan.


Ketrampilan sosial diawali dengan diterapkannya sosio-kognitif, sosio-afektif dan sosio-psikomotor. Ini mendorong peserta didik untuk selalu berinteraksi dalam setiap kesempatan untuk berbagai macam kondisi. Penerapan tersebut menanamkan dalam diri peserta didik sosio-adaptif.


Sosio-adaptif membentuk karakter peserta didik mampu menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan sehingga dapat menentukan sikap yang tepat. Selain itu juga berdampak pada kematangan jiwa dan kesehatan mental. Bukan hanya asal menolak terhadap setiap perubahan sosial.


Penutup

Tantangan ke depan peserta didik perlu didorong agar mampu bersikap secara tepat terhadap perubahan sosial. Untuk itu peserta didik sejak dini diproses melalui perluasan pembelajaran bukan pada label sekolah. Harapannya, dengan beragam label sekolah (diikuti biaya makin sulit terjangkau) menghasilkan peserta didik yang mampu menjawab permasalahan, bukan makin menambah masalah. Semoga tidak !!


Penulis

Kukuh Widyatmoko

Dosen Pascasarjana Program Pendidikan IPS Universitas Kanjuruhan Malang,

Ketua Kelompok Studi Kebijakan Publik “BILIK” Malang


Tinggal di :

Jalan Janti Barat C Dalam 3 Malang 65148

Tepl 087859585572


Tidak ada komentar: