Minggu, 13 September 2009

Sekolah : Sumber Daya Mengkreatifkan

Hanya sekitar 30 persen kesempatan kerja yang tersedia terisi oleh tenaga kerja yang sesuai dengan pendidikannya. Karena itu, perlu sinkronisasi segera antara sistem kependudukan, pendidikan dan ketenagakerjaan (Kompas, 25 Maret 2009, h. 12). Apa yang diajarkan selama meraih ilmu pengetahuan di sekolah ?

Lalu, modal atau bekal apa yang diberikan sekolah saat membaca kalimat berita “Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada Februari 2008 tercatat 9,43 juta pengangguran atau sebanyak 8,46 persen dari total penduduk. Pengangguran di tingkat SD-SMP berjumlah 4,8 juta orang, sedangkan di jenjang SMA-universitas mencapai 4,5 juta orang (Kompas, 25 Maret 2009, h. 12).

Sekolah
Sekolah secara Sosiologis merupakan lembaga sosial. Yang terbentuk dari kumpulan nilai-nilai dan norma sosial. Sekolah sebagai lembaga sosial memiliki fungsi manifes dan fungsi laten (tersembunyi). Sekolah berfungsi manifes ketika sekolah melaksakan kurikulum-kurikulum seperti saat ini dengan kurikulum KTSP. Sedangkan fungsi laten (tersembunyi) adalah menanamkan kesadaran kebutuhan belajar selama hidup, mampu memecahkan permasalahan hidup dan memiliki kemampuan hidup mandiri. Sekolah mengemban dua tugas sekaligus dengan kesimbangan dan berjalan beriringan.

Sekolah berdasar tinjauan Sosiologis menjadi salah satu agen/media perubahan sosial. Sebagai agen/media perubahan sosial, sekolah merupakan sarana sebagai rekayasa sosial dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang belum paham menjadi paham, dari yang terampil menjadi lebih terampil. Dari yang berpengalaman menjadi lebih berpengalaman.

Sekolah secara Sosiologis merupakan salah satu saluran mobilitas sosial vertikal. Saluran mobilitas sosial vertikal dari tingkatan taman kanak meningkay sampai ke jenjang perguruan tinggi. Otomatis statusnya pun mengalami peningkatan dari pelajar sekolah dasar mengalami peningkatan sampai mahasiswa.

Dari tinjauan di atas maka sekolah merupakan media paling strategis untuk melakukan rekayasa sosial bagi sumber daya manusia. Mengingat sekolah memiliki komponen-komponen untuk melakukan rekayasa sosial. Terbukti, adanya kurikulum yang dipakai sebagai rel, ada jam pelajaran untuk mengarahkan sumberdaya manusia menjadi lebih meningkat. Juga ada guru sebagai ujung tombak rekaya sosial tersebut.

Komponen tersebut sebagai variabel untuk melaksanakan fungsi manifes. Namun fungsi laten yang menjadi bekal hidup setelah menyelesaikan proses belajar mengajar di sekolah mengalami kesulitan untuk bertahan hidup dan hidup di dalam masyarakat. Hal tersebut dikarekan fungsi laten sekolah terabaikan atau terpendam dalam lumpur pencapaian kurikulum.

Sekolah yang hanya melaksanakan fungsi manifes menjadi peserta didik seperti gelas kosong. Maka peserta didik wajib diisi sebanyak-banyak ketentuan-ketentuan kurikulum. Yang terjadi seperti saat ini peserta didik banyak yang mengalami kesulitan berat untuk bertahan hidup. Dengan bukti banyak pengangguran intelektual. Saat terjadi krisis seperti saat ini fungsi manifes tidak mampu memberikan bekal memadai bagi peserta didik untuk menyiasati persoalan selepas bangku belajar formal. Bahkan beradaptasi terhadap dinamika sosial yang begitu cepat dan menghempas siapa saja yang tidak mampu bertahan, dan menyikapi lalu mengambil keputusan dengan penuh resiko.

Sumber Daya Manusia
Dalam melaksanakan dan mewujudkan fungsi laten, peserta didik diposisikan sebagai subyek dalam proses belajar mengajar di sekolah. Dengan peserta didik menempati posisi subyek maka seluruh sumber daya yang ada dan dimiliki diapresiasi. Secara umum sumber daya yang dimiliki oleh peserta didik terdiri dari sumber daya spiritual, sumber daya emosional, sumber daya sosial dan sumber daya intelektual serta sumber daya motorik.

Namun sayangnya pengapresiasian selama ini terhadap peserta didik lebih ditekankan pada sumber daya intelektual. Sistem dan struktur sosial yang ada diarahkan pada pencapaian maksimal sumber daya intelektual. Struktur sosial sekolah yang diskriminatif seperti kelas akselerasi dan berbagai even olimpiade. Disadari atau tidak sistem dan struktur yang dibangun menjadi proyek mencusuar bahkan membangun menara gading.

Akibat yang bisa dilihat dengan kasat mata dari sistem dan struktur pendidikkan yang mercusuar dan menara gading adalah booming pengangguran intelektual. Selain itu, para intelektual muda yang lemah bahkan lembek terhadap perubahan sosial, dampaknya mudah putus asa bahkan tidak tahu mesti berbuat apa tehadap masalah yang ada dan mesti dihadapi.

Sungguh sangat disayangkan sumber daya peserta didik yang begitu besar dan melimpah banyak tidak tergarap secara memadai bahkan maksimal. Dari sisi ini tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sistem dan struktur pendidikan yang dibangun dan dikembangakn selama ini menjadikan sekolah ternyata menghasilkan manusia-manusia yang tidak mampu beradaptasi terhadap hidup dan kehidupan dirinya sendiri terlebih sosial.

Sumber Daya Mengkreatifkan
Permasalahan mendasar yang dihadapi dalam kehidupan dalam masyarakat oleh peserta didik adalah ketidakmampuan peserta didik untuk “mencair” terhadap lingkungan sekitar. Kondidi tersebut dapat diibaratkan seperti air dengan minyak. Air adalah masyarakat sedangkan minyak adalah para intelektual yang egois.

Para intelektual yang egois enggan untuk berinterseksi “bertemu” terhadap kondisi riil yang ada dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dikarenakan, selama peserta didik menempuh pembelajaran formal hanya ditempatkan sebagai gelas saja tidak ditempat sebagai air yang mesti mampu menyesuaikan diri dimana diberada.

Segala sumber daya spiritual, sumber daya emosial dan sumber daya sosial terpagari bahkan disterilkan. Sumber-sumber tersebut oleh sistem dan struktur yang dibangun sengaja dihilangkan bahkan dimatikan. Sebaliknya yang dibangun adalah keseragaman, kedisiplinan semu namun mati. Ketaatan yang absolut. Hal tersebut sungguh sangat merugikan bagi kemajuan dab perkembangan sumber daya peserta didik.

Padahal kemampuan beradaptasi terhadap hidup dan kehiduapan mendapat kontribusi signifikan dari sumber daya spiritual, sumber daya emosial, dan sumber daya sosial serta serta sumber daya motorik. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah apa kontribusi dari sumber-sumber tersebut ?

Sejatinya sumber-sumber tersebut menjadi manusia peserta didik menjadi manusia yang kreatif. Banyak pendapat ahli yang mendefinisikan ke-kreatifitasan seseorang peserta didik. (Julius Chandra: 1994, h. 15)

Seperti Dr. Myron S. Allen berpendapat “ kreativitas adalah perumusan-perumusan dari makna melalui sintesis” dalam buku Psychodynamic Synthesis. Dari uraian di atas secara sederhana peserta didik dapat diolah untuk kreatif dengan cara membuat makna mata pelajaran yang diperoleh dengan cara membuat sintesis (hubungan) dengan kehidupan secara umum atau kehidupan di sekolah. Apa manfaat mata pelajaran tersebut dalam kehidupan. Dan, manfaat tersebut baik jika sungguh dirasakan oleh peserta didik. Dengandemikian peserta didik mendapatkan makna khusus dari mata pelajaran tersebut. Pengolahan tersebut sudah mengajak peserta didik kreatif.

Ada juga pendapat: “kreativitas dirumuskan sebagai kemampuan untukk membuat kombinasi-kombinasi baru yang bernilai sosial” oleh John W. Haefele ada di buku Creativity And Innovation. Proses kreatif yang ditawarkan dari pendapat tersebut adalaha peserta didik diajak untuk membuat kolaborasi satu meta pelajaran dengan mata pelajaran lain. Bisa jadi tidak ada hubungan, tetapi jika peserta didik mampu menemukan kombinasinya maka peserta didik sudah termasuk “kreatif”.

Kombinasi mata pelajaran seperti Sosiologi dengan Biologi mungkin tidak ketemu kombinasi karena belum terbiasa. Mengingat selama ini terjadi pengkotakan mata pelajaran satu dengan lainnya. Namun, setelah ini maka peserta didik mendapatkan kombinasinya antara Sosiologi dengan Biologi. Contoh kombinasinya, jika seseorang mengalami gangguan pada organ tumbuhnya maka interaksi sosialnya juga mengalami sedikit gangguan. Atau juga Sosiologi dengan matematika atau mata pelajaran eksak lainnya. Jika ketemu kombinasinya maka peserta didik mulai memasuki dunia kreatif. Metode ini jauuh lebih melekat lama dan peserta didik mendapatkan pengalaman dan pengalaman ini menjadikan ilmu pengetahuan baru yang sebelumnya tidak pernah didapatkan.

Yang lain, terdapat di buku The Crisis of Creativity, “ kreativitas adalah kemampuan untuk menghubungkan dan mengaitkan, kadang-kadang dengan cara yang ganjil, namun mengesankan, dan ini merupakan dasar pendayagunaan kreatif dari daya rohani manusia dalam bidang atau lapangan mana pun” dari George J. Seidel. Kreatifitas yang ini dapat dilatihkan saat mata pelajaran kepada peserta didik dengan cara mendorong peserta didik untuk membuat kalimat yang mengkaitkan antara dua benda yang berbeda. Cara ini dapat dilalui dengan beberapa tingkatan. Tingkatan pertama, dua benda yang memiliki kedekatan. Seperti buku dengan meja, peserta didik diajak untuk membuat kalimat untuk mengkaitkan keduanya. Kaitannya ada buku diatas meja. Tingkatan kedua, agak berjauhan, seperti buku dengan becak. Tentu peserta didik mulai berpikir berat. Tingkatan ini mulai mengajak peserta didik untuk dilatih “out of the box”. Bagi yang tidak terbiasa berpikir “out of the box” maka sulit dan lama. Kalimatnya bisa jadi, Ani membaca buku Sosiologi saat naik becak berangkat ke sekolah. Tingkatan ketiga, kaitan yang jauh. Seperti buku dengan gunung, sawah atau sungai. Inilah mulai mengarahkan peserta didik berpikir “out of the box.” Memang agak aneh tetapi itulah latihannya. Kalimatnya adalah agar tidak tersesat saat naik Gunung Bromo Rudi mesti membawa buku peta perjalanan ke Gunung Bromo.

Tujuannya jelas, pemecahan untuk masalah dalam hidup mampu menghubungkan satu fakta dengan fakta lain. Memang agak aneh, tetapi bukankah hidup sungguh aneh, maka perlu sejak dini mengajak pesetrta didik berpikir “out of the box” agar bisa dan mampu kreatif.

Memang ada kekhawatiran jika anak kreatif maka nanti akan disalah gunakan. Kreativitas bisa digunakan untuk yang negatif seperti pencurian, tetapi kreativitas juga ada positifnya. Dari sinilah ketika kreatifitas tertutup maka sulit menyelesaikan masalah tetapi jika kreatifitas terbuka dan diapresiasi secara baik maka efek negatifnya bisa diminimalisir.

Ada contoh kreativitas yang patut dibanggakan dan jadi contoh bagi pengelolaan sumber daya peserta didik. Kreativitas yang tidak ada kaitan dengan proses belajar mengajar selama di sekolah. Contoh ini sengaja diambil dari orang Indonesia agar dekat dengan kondisi peserta didik Indonesia. Bisa jadi jika contoh dari luar ada berbagai macam faktor pembedanya. Tetapi jika sama-sama orang Indonesia heterogenitasnya berkurang.

Contoh pertama, Tine, Melestarikan Budaya dengan Miniatur. Ide awal mendirikan usaha kerajinan muncul setelah dia melihat kemampuan kedua adinya, Dadang dan Ari yang suka dan pandai mengukit. Pendidikan yang ditempuh adalah D-1 Sekretaris. Penghargaan yang diperoleh adalah Rekor Muri untuk Gameral Terkecil tahun 2005. (Kompas, 30 Maret 2009, h. 16).

Contoh kedua, Sehari-hari Edy bergelut dengan kulit kacang. Kulit kacang itu dia masukkan ke dalam sebuah drum besar lalu dibakarnya selama sekitar dua jam. Agar cepat dingin, arang kulit kacang itu kemudian di jemur. Setelah dihancurkan hingga menyerupai tepung, adonan itu diaduk dengan lem kanji. Proses terakhir adalah mencetakkanya menjadi briket siap pakai. Pendidikannya STM (Kompas, 2 April 2009, h. 16).

Creative Intelligence
Selama ini ketika berbicara kecerdasan manusia maka ada beberapa kecerdasan yang muncul yaitu IQ, Kecerdasan Emosi, Kecerdasan Spiritual dan kecerdasan Sosial. Saat ini ada tipe kecerdasan lain yaitu Kecerdasan Kreatif.

Kecerdasan Kreatif berbeda dengan apa yang secara normal dianggap sebagai Kecerdasan Umum. Kecerdasan Kreatif berfokus pada cara berpikir dan hasrat kita untuk mencapai sesuatu yang baru atau berbeda (Alan J. Rowe, 2005, h. 23).

Menurut Alan J. Rowe ada Empat Tipe Kecerdasan Kreatif. Pertama, Intuitif. Tipe ini berfokus pada hasil dan mengandalkan pengalaman pada masa lampau sebagai penuntun dalam melakukan berbagai tindakan. Sekolah merupakan media interseksi (titik temu) antara guru dan peserta didik. Masing-masing memiliki pengalaman keberhasilan-keberhasil yang diraih pada masa lampau. Keberhasilan-keberhasilan tersebut merupakan modal atau bekal yang dapat dipakai untuk mewujudkan Kecerdasan Kreatif.

Kecerdasan Kreatif tersebut jika diinterseksikan tentukan membuahkan hasil yang bagus. Seberapapun besar atau kecil keberhasil yang dicapai masa lalu tentu merupakan kekuatan. Hanya masalahnya keberhasilan-keberhasil tersebut lebih banyak dibiarkan begitu saja berlalu. Dianggap tidak berguna atau tidak memilki manfaat sehingga seolah-olah “tidak pernah berhasil.” Akibatnya muncul perasaan minder. Keberhasil-keberhasilan tersebut dapat ditumbuhkembangkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi peserta didik. Sedangkan bagi guru saat bertemu peserta didik yang beragam dapat memnculkan ide kreatif yang baru. Profesi guru merupakan profesi yang berpotensi memunculkan kreatifitas yang mengalir terus.

Tipe kedua, Inovatif. Tipe ini berkonsentrasi pada penyelesaian masalah, sistematis dan mengandalkan data. Baik guru maupun peserta didik setiap waktu mengahapi masalah. Jika peserta didik berhadapan dengan tugas/pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan maka bukan hal baru dengan masalah. Demikian pula bagi guru, selalu berhadapann dengan keanekaragaman masalah saat berhadapan dengan peserta didik maka guru pun selalu berusaha menyelesaikan masalah.

Pendekatan-pendekatan seperti apa yang dapat digunakan terhadap permsalahan peserta didik. Dan, guru merupakann profesi memiliki potensi besar untuk berinovasi. Sehingga guru dan peserta didik pun secara terus menerus melakukan inovasi-inovasi. Karena lebih tergilas oleh rutinitas maka inovasi-inovasi yang telah ditemukan diabaikan kurang direfleksikan. Jika ada waktu sesaat untuk merefleksikan inovasi-inovasi yang telah dilakukan maka sungguh menjadi kesadaran yang memiliki sumber daya untuk berkreasi sepanjang waktu.

Tipe ketiga, Imajinasi. Tipe ini memiliki kemampuan untuk memvisualisasikan peluang, artistik, senang menulis, dan berpikir “di luar kotak.” Tipe ini saat ini mengalami kesulitan untuk berkembang. Karena lebih banyak tergantikan oleh sesuatu yang pasti. Karena imanjinasi lebih dianggap “merusak” pola pikir guru dan peserta didik. Padahal imajinasi sebetulnya mampu menghidupan prose sbelajar mengajar di sekolah. Sungguh merupakan kesulitan tersendiri saat guru mengajak peserta didik untuk mengajak berimajinasi. Contoh, imajinasi apa yang dapat diwujudkan selama menempuh pendidikan di sekolah? Pandangan ini dianggap dilayak bahkan tidak lazim dalam dunia pendidikan.

Imajinasi lebih dominan dianggap mengajak peserta didik berkhayal saja dan hal tersebut tifdak ada hubungan dengan pelajaran dan tidak ada manfaat karena membuang waktu saja. Daripada peserta didik diajak untuk berimajinasi lebih baik peserta didik disuruh menghafalkan materi pelajaran. Ini kendala paradigma dikalangan pelaku dunia pendidikan. Padahal dari imajinasi itulah suatu yang baru atau aneh terwujud. Jika ada peserta didik memiliki imajinasi lebih banyak “dimatikan.” Jika ada peserta didik mempunyai buah pikir yang “keluar dari kotak” maka lebih banyak ditertawakan karena tidak lazim. Padahal pemikiran tersebut sangat jernih, murni bahkan cemerlang. Hanya karena penyampaian kurang tepat maka segera diabaikan.

Tipe keempat, Inspirasional. Tipe ini lebih berfokus pada perubahan sosial dan rela berkorban demi mencapai tujuannya tersebut. Ini juga hambatan yang alami dalam mengajak peserta didik untuk berkreasi. Karena inspirasi peserta didik tumpul. Tumpulnya karean daya imajinasi peserta didik sejak sekolah dasar sampai pendidikan tinggi “dimandulkan” oleh pola pikir linear.

Pola pikir peserta didik lebih banyak disalurkan pada pikiran yang faktual semata. Namun tidak diajak berpikiran “bagaimana” yang faktual itu terjadi. Pola pikir “apa” itulah yang mendominasi otak, benak peserta didik. Pola pikir apa yang sekian lama dan terus ditanamkan dala pola pikir peserta didik sungguh tidak memiliki manfaat saat berhadapan keanekaragaman yang seolah tidak ada korelasinya. Padahal jika peserta didik dilatihkan berpiki “bagaimana” maka peserta didik mampu menemukan hal baru dari keanekaragaman fakta.

Hidup dari IQ
Memang masih terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam dikalangan pendidik di sekolah korelasi antara IQ tinggi dengan kreatifitas bahkan kecerdasan kreatif. Tetapi semoga dengan penelitian Jacob Getzel perbedaan tersebut mampu didekatkan. Penelitian yang dilaksanakan menyimpulkan, bahwa tes IQ saja tidak dapat memprediksikan orang-orang yang kreatif secara akurat. Apa yang dia temukan adalah bahwa siswa-siswa yang kreatif berfokus pada upaya menemukan permasalahan yang tepat dan bukan sekedar jawaban yang tepat. Ditambahkan pula pendapat Robert Sternberg dari Yale University, yang terkenal di bidang kreativitas, bahwa peranan IQ dalam kehidupan secara umum lebih kecil dibandingkan kepribadian, motivasi, pengalaman, faktor sosial dan ekonomi.

Yang sangat disayangkan peran sekolah bukan lagi menyimbangkan keseluruh potensi peserta didik tetapi menjadi tempat “melegalkan” tingkat IQ peserta didik. Sejarah peradaban manusia membuktikan penemuan-penemuan yang memiliki fungsi sosial bagi kehidupan manusia dilahirkan bukan hanya inividu yang IQ tinggi semata tetapi lebih didominasi oleh pola pikir kreatif. Mestinya sekolah-sekolah mampu melahirkan gabungan manusia pintar yang dilengkapi daya kreatif tinggi.

Hasil belajar di sekolah mestinya melahirkan peserta didik yang resposif terhadap tantangan hidup yang makin berat. Sehingga ilmu yang didapatkan di sekolah mampu memberikan jawaban yang kontekstual sesuai dengan tingkatannya. Bukannya peserta didik yang menambahi tantangan sosial. Hal tersebut dapat terwujudkan jika peserta didik diarah untuk berpikir bagaimana menerapkan ilmu yang didapat secara kontekstual. Spirit inilah yang perlu segera ditanamkan kepada pesserta didik. Inilah salah satu manfaat kecerdasan kreatif dalam hubungannya dengan dunia pendidikan.

Berdasarkan realita sosial, orang yang berlabel “berpendidikan” diukur dari tinggi rendahnya IQ, atau juga jenjang pendidikan yang telah ditempuh, atau prestasi akademik yang diraihnya. Padahal ukuran tersebut tidaklah tepat. Socrates seorang filsof terkenal menyatakan orang dikatakan berpendidikan sebagai orang yang mampu menguasai berbagai keadaan dari hari ke hari dan mampu memberikan penilaian untuk bisa dengan tepat menangani berbagai permasalahan. Maka jika ada seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah lalu mampu membuat lapangan kerja baru setelah PHK itulah berpendidikan. Itulah contoh dekat dari pernyataan Socrates.

Penutup
Jadi sekolah mestinya melahirkan kaum berpendidikan yang mampu beradaptasi terhadap dinamika sosial bukannya hanya membekali peserta didik dengan tingginya nilai raport atau IPK. Sekolah merupakan kumpulan sumber daya (guru dan peserta didik) yang masing-masing memiliki potensi kreatif yang besar.

Di masa depan tantangan makin berat baik bagi guru maupun peserta didik, sekolah sebagai agen/media perubahan sosial memiliki kontribusi besar dalam mempersiapkan peserta didik menghadapi dan menyelesaikan tantangan jaman. Menanamkan spirit bagi peserta didik untuk terus belajar menimba ilmu, mampu menyelesaikan masalah dan hidup mandiri sungguh-sungguh perlu diupayakan ditengah tuntutan fungsi manifes sekolah. Usaha ini mampu menjadi nilai lebih bagi sekolah yang bersangkutan. Karena sekolah tidak hanya membekali peserta didik dengan belajar untuk nilai tetapi juga demi belajar hidup.

Masyarakat makin sadar bahwa menyekolahkan anak tidak cukup hanya pintar tetapi mampu hidup ditengah dinamika jaman yang tidak menentu. Maka bagi sekolah-sekolah yang tetap mempertahankan kehidupan, pola masa lalu, bahkan romantisme belaka sehingga enggan beradaptasi dengan jaman maka tidak akan memiliki masa depan.

Pola pembelajaran yang lebih menekankan mendengar maka mudah sekali peserta didik lupakan atau mungkin mudah diingat dengan yang dilihat. Namun akan tersimpan lama saat peserta didik mampu menemukan selama proses belajar mengajar di sekolah. Untuk dapat menemukan maka kreativitaslah salurannya.

Bagi sekolah “jika tidak terlibat aktif dalam merencanakan masa depan dan hidup peserta didik maka masyarakatlah yang akan merencanakan sekolahmu.”

Jum'at Agung, 23.55, 11 April 2009

Penulis
Engelbertus K. Widyatmoko
Guru Sosiologi
SMAK Santa Maria
Jalan Raya Langsep 41
Malang

Bacaan pendukung
1.Kreativitas (Bagaimana Menanam, Membangun dan Mengembangkan), Julius Chandra, Kanisius, 1994.
2.Creative Intelligence (Membangkitkan Potensi Inovasi dalam Diri dan Organiasi Anda), Alan J. Rowe, Kaifa, 2005.
3.(Kompas, 30 Maret 2009, h. 16).
4.(Kompas, 2 April 2009, h. 16).

Label Sekolah (tidak) Menjawab Masalah ?

Saat ini bermunculan sekolah dengan aneka nama atau label. Mulai dari Sekolah Mandiri, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Harapan pendirian sekolah dengan label mampu menjawab masalah setelah peserta didik lulus sekolah.

Pendidikan

Sekolah merupakan lembaga pendidikan. Ada banyak definisi pendidikan. Dari sekian banyak definisi, ada definisi pendidikan mampu menjawab masalah setelah lulus sekolah. Tokoh pendidikan Jean Piaget berpendapat, pendidikan merupakan penghubung dua sisi, disatu sisi individu yang sedang tumbuh dan disisi lain nilai sosial, intelektual dan moral yang menjadi tanggung jawab pendidik untuk mendorong individu tersebut.


Dari definisi tersebut jelas bahwa pendidikan pada hakekatnya adalah jembatan bagi individu sebelum terjun ke masyarakat. Dalam pendidikan individu dengan segala potensinya diolah agar memiliki bekal diri saat masuk dalam masyarakat. Dan, peran guru adalah sebagai pendorong.


Berbicara peran guru bagi peserta didik selama menempuh pendidikan dapat dianalogikan seperti induk ayam yang hendak menetaskan telurnya. Induk ayam mengerami telur. Induk ayam bertugas menciptakan kondisi (temperatur) ideal agar telur dapat menetas dengan bagus. Temperatur yang ideal, tidak boleh terlalu tinggi atau panas, dan juga tidak boleh terlalu rendah atau dingin.


Maka telur dapat menetas dengan bagus jika temperatur ideal tercipta. Peran guru dalam sekolah (kelas) menciptakan temperatur ideal bagi anak. Guru tidak boleh terlalu kaku sehingga peserta didik takut untuk berekspresi dan beraktualisasi diri. Namun, jika guru terlalu “lembek” maka anak semaunya sendiri, bahkan melawan guru.


Guru perlu berperan menjaga temperatur. Maka penciptaan temperatur ideal perlu dijaga dengan dinamis. Guru bukan pada wilayah menentukan “nantinya anak”. Tetapi guru menciptakan iklim motivasi bagi peserta didik. Pengalaman-pengalaman negatif anak perlu diaktualisasikan dengan kemampuan lebih dalam diri. Pengalaman positif anak diolah agar tidak menjadi sombong tetapi dipkai sebagai pemicu untuk terus berkarya dengan segala potensi.



Belajar

Penciptaan temperatur ideal tersebut berkait erat dengan belajar. Dalam hal belajar, ada dua proses yang terjadi dalam pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak menurut Jean Pieaget. Pertama, proses asimilasi, dalam proses ini menyesuaikan atau mencocokan informasi yang baru itu dengan apa yang telah in ketahui dengan mengubahknya bila perlu. Kedua, akomodasi, anak menyusun dan membangun kembali atau mengubah apa yang telah diketahui sebelumnya sehingga informasi yang baru itu dapat disesuaikan dengan lebih baik.


Selama proses belajar peserta didik hanya diajar untuk menghafal materi pelajaran. Peserta didik diajarkan bagaimana menyimpan sebanyak-banyak informasi dalam pikiran. Padahal, daya tampung otak kiri peserta didik sangat terbatas selain itu daya lekatnya lemah, dan sementara. Maka peserta didik hanya hafal dan mampu menyelesaikan masalah atau soal saat ujian. Setelah ujian lupa bahkan hilang sama sekali.


Sekolah dengan sistem pembelajaran demikian membentuk anak hanya pandai menghafal bukan pandai berpikir. Cerdas menggunakan berbagai informasi dalam otak. Peserta didik lemah dalam mengakomodasi bagi kebutuhan hidup. Peserta didik mengalami kesulitan dalam mengasimilasikan berbagai pengetahuan selama belajar di sekolah.



Perluasan

Sebetulnya dengan sekolah yang telah ada peserta didik dapat menjawab permasalah. Dengan kesadaran bahwa belajar tidak cukup hanya menghafal tetapi perlu menggali untuk menemukan. Lalu, belajar menghasilkan sesuatu berkaitan dengan ilmu dan kehidupan. Terus dibagikan kepada teman, guru, sekolah dan publik. Hal tersebut mampu mempersiapkan peserta didik untuk menjawab masalah riil, bukan hanya menjawab soal-soal tes.


Perubahan sosial terus membutuhkan penyikapan. Anak mampu menyikapi perubahan sosial hanya dengan pembelajaran dengan fokus penyelesaian masalah. Untuk pembelajaran perlu mengalami perluasan, salah satu perluasannya adalah pembelajaran bermakna.


Menurut Robert Bala (Kompas, 12 Juni 2009) pembelajaran tidak berhenti pada aspek pengetahuan (to know), dan keahlian ( to be able) tetapi merambah daya eksplorasi (to study) dan harapan (to hope). Dua hal terakhir ini sungguh perlu segera didorong pada semua tingkatan, mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi.


Demikian pula, peserta didik sebagai individu terikat erat dengan interaksi sosial, maka individu perlu memiliki ketrampilan sosial. Perluasan kognitif, afektif dan psikomotor yang selama ini menjadi patokan perlu diarahkan menjadi sosio-kognitif, sosio-afketif dan sosio-psikomotor.


Artinya ketiga komponen dalam individu perlu diinteraksikan bagi lingkungan sekitar dimana pun individu berada. Bukan hanya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor dipakai dan dimiliki secara indivu. Yang lebih memprihatinkan dipakai untuk kepentingan material semata. Itulah yang terjadi saat ini.




Sosio Adaptif

Tantangan ke depan bagi dunia pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik mampu beradaptasi dengan dinamika sosial suatu masyarakat berdasar kesejatian dirinya. Upaya persipannya dengan menerapkan ketrampilan sosial dalam setiap mata pelajaran dan di tiap jenjang pendidikan.


Ketrampilan sosial diawali dengan diterapkannya sosio-kognitif, sosio-afektif dan sosio-psikomotor. Ini mendorong peserta didik untuk selalu berinteraksi dalam setiap kesempatan untuk berbagai macam kondisi. Penerapan tersebut menanamkan dalam diri peserta didik sosio-adaptif.


Sosio-adaptif membentuk karakter peserta didik mampu menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan sehingga dapat menentukan sikap yang tepat. Selain itu juga berdampak pada kematangan jiwa dan kesehatan mental. Bukan hanya asal menolak terhadap setiap perubahan sosial.


Penutup

Tantangan ke depan peserta didik perlu didorong agar mampu bersikap secara tepat terhadap perubahan sosial. Untuk itu peserta didik sejak dini diproses melalui perluasan pembelajaran bukan pada label sekolah. Harapannya, dengan beragam label sekolah (diikuti biaya makin sulit terjangkau) menghasilkan peserta didik yang mampu menjawab permasalahan, bukan makin menambah masalah. Semoga tidak !!


Penulis

Kukuh Widyatmoko

Dosen Pascasarjana Program Pendidikan IPS Universitas Kanjuruhan Malang,

Ketua Kelompok Studi Kebijakan Publik “BILIK” Malang


Tinggal di :

Jalan Janti Barat C Dalam 3 Malang 65148

Tepl 087859585572


Senin, 07 September 2009

Menulis "out of The Box" (2)

Menyalurkan energi lewat gandengan huruf

Energi terbesar, terkuat bersumber dari hati

Niatkanlah untuk menggandengkan huruf secara tulus

Ubahlah pengalaman negatif menjadi karya positif

Luruskanlah karya tulisan kepada Sang Pencipta

Ijinkanlah Sang Pencipta terlibat dalam setiap karya tulis

Serahkanlah setiap huruf dari hati demi memuliakan Sang Pencipta