Senin, 20 April 2009

Merajut Citra Diri

Publikasi Bupati Disoal. Dana publikasi atau pencitraan Bupati Blitar Herry Noegroho mulai menuai kritik. Beberapa kalangan mempertanyakan sumber dana pencitraan tersebut setahun bisa menelan Rp 200 juta, atau rata-rata Rp 50 juta per triwulan (h. 7). Ada juga judul lain, Sisyantoko : Pelopor Konservasi Modern Dengan Mikrohidro. .. Pria itu bukan hanya peduli terhadap kelangsungan ekosistem dan biota air, tapi juga aplikasi menjaga kondisi lingkungan dengan penerapan teknologi tepat guna yang dapat langsung dirasakan masyarakat (h. 9). Kedua berita tersebut bersumber dari Surya Senin, 30 Maret 2009.

Kedua judul tersebut menarik untuk dicermati. Ditengah arus modernisasi salah satu ciri yang menonjol adalah soal citra diri. Setiap individu menginginkan citra dirinya diakui oleh publik. Citra diri menjadi hal penting, berdasar kebutuhan manusia menurut Teori Maslow, salah satunya, aktualisasi diri. Yaitu, kebutuhan manusia agar leberadaan diri diakui oleh orang lain. Citra diri ada yang positif ada yang negatif. Citra diri positif dimaknai sebagai hal-hal baik atau tinggi yang dilihat, diketahui oleh publik. Citra diri negatif dimaknai sebagai individu yang “rendah”, miskin, tak mampu, orang biasa-biasa saja.

Ada banyak cara agar citra diri terbentuk sehingga menjadi “bangunan” diri positif di mata publik. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Silsilah. Metode yang dipakai berdara keturunan. Yaitu menggunakan garis keturunan dari orang tua. Orang tua yang berasal dari golongan ningrat atau bangsawan maka dalam diri seseorang melakat citra diri. Citra diri ini diperoleh secara otomatis. Seperti penggunaan “label” Raden, atau Roro.

Selain dari keturunan, ada juga metode yang dipakai adalah pernikahan. Salah satu pihak baik laki-laki atau perempuan menikah dengan lawan jenis yang berasal dari keluarga kalangan berada atau bangsawan, pihak lain dari kalangan dibawahnya. Sehingga bagi pihak yang berada dari kelas yang rendah, maka citra dirinya pun mengalami mobilitas vertikal, statusnya meningkat.

Berkaitan dengan daya tahan citra diri di tengah arus modernisasi yang maju pesat, cara ini sangat tergantung dengan dinamika sosial masyarakat. Jika masyarakat kental dengan latar belakang keluarga menjadi penentu maka metode ini masih bisa langgeng. Tetapi, jika masyarakat mulai kurang memperhatikan latar belakang keluarga maka citra diri dengan cara ini lambat laun pasti tersisihkan bahkan ditinggalkan. Saat ini mulai sedikit orang yang menggunakan nama Raden Mas, atau pun Roro di depan nama.

Dengan perubahan yang pesat pula maka cara ini menghapi tantangan yang makin berat. Makin beratnya karena orang mulai sadar bahwa latar belakang keluarga munjadi faktor yang tidakmenentukan citra diri seseorang. Maka waktu-waktu ke depan makin sulit mendapatkan orang yang sederajat dalam citra dirinya. Bagi orang menganut paham ini sungguh sulit untuk bertahan pada prinsipnya. Maka solusi yang bisa diambil adalah mulai menggeser paradigma dinamika sosial. Yaitu membangun citra diri yang tidak berdasarkan latar belakang keluarga.

Cara kedua, Instan . Citra diri yang dibangun dengan cara instan adalah dengan menggunakan media. Media yang paling ampuh tapi cepat untuk membangun citra diri dengan publikasi. Publikasi yang dilakukan adalah memanfaatkan media cetak, audio-visual . Cara ini tepat karena manusia modern memiliki ketrgantuangan yangtinggi terhadap media. Baik lewat poster maupun spanduk dengan menampilkan dirinya di hadapab publik. Entah di pinggir jalan maupun dengan membentangkan spanduk di atas jalan raya. Belum lagi faktor penempatan letak, di area yang banyak dikunjungi orang, diperempatan jalan, dipersimbangan atau di daerah fasilitas publik.

Cara lainya melalui media adalah lewat media elektronik. Siapa yang bisa menguasi media elektorik maka sekian juta orang melihat citra diri. Media elektronik bisa menampilkan citra diri sesuai dengan kehendak diri. Sisi-sis kebaikan bisa dengan leluasa ditampilkan kepada publik. Tujuannya agar publik tahu betul sisi kebaikan. Sehingga citra diri melekat pada mata, dan pikiran publik. Belum lagi media cetak.

Kesadaran bahwa masyarakat mulai butuh membaca koran, maka media ini sangat strategis. Citra diri bisa dibangun lewat media cetak. Hanya media cetak hanya gambar yang mati. Beda dengan media elektronik gambar bergerak, “hidup.” Nampak menjadi sarana yang tepat untuk membangun citra diri. Bisa satu halaman “dibeli” hanya untuk menampilkan citra diri. Dan, bisa ditampilkan beberapa waktu. Demikian pula untuk media elektronik bisa ditayangakan sekian detik dan beberapa kali lalu pada jam berapa.

Cara ini sangat efektif terkait dengan jangkuan publik yang akan terbangun terhadap citra diri. Itu semua seiring sejalan dengan biaya yang mesti dikeluar. Bagi yang memiliki dana maka berapa pun, dikeluarkan dari kocek demi pencitraan.

Pencitraan dengan model ini bertahan sesuai dengan dana yang tersedia. Mengapa ? Karena berkaitan dengan lama dan berapa kali penayangan baik di media cetak maupun elektronik. Semakin lama dan sering penayangan maka publik, pencitraan diri makin melekat. Sisi negatif dari model ini daya tahannya seirama dengan dana yang ada. Jika ada terbatas maka pencitraan diri berhenti dan selesai. Maka model ini pencitraan dirinya bersifat sementara.

Karena betsifat sementara maka tantangannya adalah biaya publikasi yang makin mahal. Sehingga mahalnya biaya pencitraan seiringan dengan kelangsungan pencitraan. Biaya tayang di media elektronik mahal. Karena jangkauannya luas dan menyebar. Hampir di setiap rumah pasti ada media elektronik. Bahkan dalam satu keluarga banyak yang memiliki lebih dari satu media elektronik. Ini makin menambah mahal biaya publikasi.

Juga media cetak. Biaya kertas yang mahal ikut mempengaruhi meningkatnaya biaya publikasi di medua cetak. Yang membedakan media cetak dengan elektronik tentunya dalam hal penggambaran. Media cetak gambarnya “mati” (tidak bergerak), sedangkan media elektronik gambarnya “hidup” (bergerak). Itu pula yang menyebabkan pencitraan media elektronik lebih mahal daripada media cetak.

Solusi yang dapat dilakukan dalam pencitraan diri lewat cara instan adalah menambah modal untuk pembiayaan pencitraan diri. Jika tidak cukup dana maka pencitraan diri berhenti, dan terlupakan publik.

Perjuangan merupakan cara ketiga dalam upaya pencitraan diri. Dalam jaman modern, setiap orang berlomba dalam pencitraan diri. Mulai anak-anak sampai orang dewasa bahkan orang tua. Makin banyak ajang festival, atau pun kompetisi yangdiadakan oleh media elektronik. Mulai dari lombamenyanyi sampai dengan membuat makanan aneh. Itu semua merupakan cara untuk pencitraan diri.

Bagaimana caranya? Siapa yang menjadi pemenang itulah citra diri seseorang berkaitan dengan produk tertentu. Para pemenang tentulah yang terbaik dari sekianbanyak peserta. Dan mampu menampilkan performence yang jauh lebih baik dari lawan-lawannya. Itulah yang menyebabkan ajang kompetsi menjadi hal menarik dalam proses pencitraan diri.

Dalam ketahanan pencitraan diri, cara ini sangat tergantung kontrak kerja. Setiap pemenang tentu memasuki tahapan kontrak dengan produk tertentu. Maka pemenang diwajibkan aktif mencitrakan diri sesuai dengan produk tertentu. Jika masa kontrak habis maka pencitraan diri pun selesai dan tergantikan pemenang lain.

Cara yang dapat ditempuh agar pencitraan diri model perjuangan bertahan lama yaitu kolaborasi. Kolaborasi antara pemenang lama dengan pemenang baru. Tujuannya agar pemenang lama terus dilibatkan pencitraan diri.

Cara keempat yang dapat dipakai sebagai pencitraan diri. Model ini dilatarbelakangi pemikiran bahwa perbuat baik dan bermanfaat bagi hidup orang lain dan diri sendiri. Ini yangmembedakan diantara model sebelumnya. Yang dilakukan berdasarkan refleksi kondisi sekitar. Lalu memunculkan ide “bagaimana saya dapat berbuat sesuatu”. Inilah yang menjadi pendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi kelangsungan hidup.

Karena berkarya dengan niat baik dan bermanfaat maka awalnya membutuhkan kerja keras bahkan seorang diri. Karena bisa jadi oleh orang sekitar sebagai tindakan “gila” “edan”. Tetapi itulah kejelian dan kecermatan kondisi sekitar yang membutuhkan karya baik dan bermanfaat.

Manfaat yang menyangkut kelangsungan hidup dan dirasakan orang banyak maka melekat dalam diri individu atas suatu karya. Dan setiap orang dapat melihat, merasakan karya baik tersebut. Maka melekat kuat dalam benak setiap orang di sekitarnya. Banyak orang yang mendapat manfaat meski lambat namun pasti, orang yang dulunya tidak percaya mulai mengakui bahkan memberikan penghargaan.

Penghargaan itulah sebagai tanda dari pencitraan diri. Pencitraan diri dengan karya baik dan bermanfaat merupakan bukti otentik dan nyata yang bertahan lama.

Namun kendala yang dihadapi adalah tantangan yang makin berat. Hambatan dan persoalan makin kompleks. Meski kendalam berat namun perjalan membuktikan mampu mengatasi, menyelesaikan rintangan selama berkarya. Maka mentalnya yang terbangun kuat karena telah mampu menyelesaikan hambatan dengan berbagai macam cara.

Maka jika ada kendala bukan hal baru bahkan asing, karena sudah terbiasa. Solusi dalam menghadapi adalah terus dan terus berkarya maka secara langsung proses pencitraan diri “hidup”.


Penutup
Silahkan diamati citra diri yang saya rajut termasuk tipe yang mana. Atau mau menambahi tipe merajut ditra diri yang lain ? Monggo ...

Tidak ada komentar: