Senin, 09 Februari 2009

Mengusir Kesan Angker Kelas *)

Mengusir Kesan Angker Kelas

Oleh: Kukuh Widyatmoko
"Baca buku paket halaman!" Perintah semacam itu tentu masih sering dilontarkan guru kepada siswa. Atau, guru setengah membentak dengan mengatakan, "Ayo cepat kerjakan soal-soal latihan." Masih banyak lagi kalimat-kalimat sejenis yang kerap diucapkan guru kepada peserta didik. Hal itu sangat berpotensi menciptakan situasi tegang, kaku, dan gugup dalam kegiatan belajar di kelas.

Secara tidak langsung, kondisi semacam itu berpengaruh negatif terhadap proses penyerapan materi pelajaran oleh peserta didik. Mengapa tidak dicoba cara-cara lain? Misalnya, guru memulai pelajaran dengan membacakan dongeng atau cerita. Caranya, peserta didik memejamkan mata dalam hitungan satu hingga sepuluh. Setelah itu, guru membaca cerita atau dongeng selama dua sampai tiga menit.

Ini merupakan suasana menyenangkan yang bisa mempermudah peserta untuk mencari makna di balik cerita. Guru pun bisa mengajak siswa mencari hubungan dongeng dengan materi pelajaran yang hendak disampaikan. Manfaat yang bisa diambil dari cara itu adalah menenangkan pikiran peserta didik dari pelajaran sebelumnya. Mereka juga bisa diajak mendisposisi hati dan pikiran dalam materi pelajaran.


Buku Paket Bukan Segalanya

Dalam mengajar, guru memang terikat pada buku paket. Namun, tidak berarti mereka harus terpaku pada buku paket melulu. Materi dalam buku tersebut perlu dilengkapi dengan visualisasi yang memudahkan siswa dalam memahaminya.

Dalam buku paket memang telah diberikan contoh-contoh. Tetapi, contoh itu hanya sebatas kata-kata atau gambar mati. Wawasan peserta didik akan makin bertambah jika diberikan contoh berdasarkan pengalaman sehari-hari. Misalnya, setelah membaca buku paket, peserta didik diajak memahami materi yang ia pelajari dengan cara mencermati lingkungan sekitar.

Terlalu fokus pada buku paket membuat pekerjaan guru ringan dan monoton. Mereka tinggal menyuruh siswa untuk membaca, menghafal, lalu memberi kesempatan siswa untuk bertanya jika menemui kesulitan. Model semacam itu biasanya diakhiri dengan mengerjakan latihan soal. Pekerjaan guru pun selesai.

Jika itu yang dilakukan guru, wawasan peserta didik hanya sebatas tebalnya buku paket. Pola pikir mereka sulit berkembang karena terbiasa menerima apa yang sudah ada. Mestinya, pembelajaran mengarahkan peserta didik untuk bisa membuat korelasi antara materi pelajaran dengan kenyataan hidup. Inilah yang sebenarnya menjadi tantangan bagi guru.

Perkembangan metode pembelajaran jelas menuntut peran guru menjadi lebih kompleks. Tak sekadar memindahkan ilmu dari buku paket ke dalam otak peserta didik, guru juga ditantang untuk menghidupkan materi pelajaran di kelas. Tentu hal itu tak bisa dilakukan hanya dengan duduk di meja guru, lalu membacakan materi pelajaran. Gaya seorang guru harus lebih interaktif dan lebih empati kepada peserta didik.

Paradigma membangun wibawa guru dengan menempatkan siswa pada posisi subordinat sudah bukan jamannya lagi. Justru yang harus lebih ditekankan, posisi guru bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan. Guru berperan membantu peserta didik agar lebih memahami persoalan. Dengan demikian, ucapan yang dilontarkan guru kepada siswa bukan lagi kalimat perintah, melainkan ajakan dan motivasi.

Jika seorang peserta didik dinyatakan berhasil ketika nasik kelas, maka guru dinyatakan berhasil jika seluruh siswanya naik kelas. Tentu hal tersebut bukan perasalan mudah. Sebab, latar belakang peserta didik dalam satu kelas sangat beraneka ragam. Guru juga dihadapkan pada beragamnya tingkat kecerdasan siswa, latar belakang keluarga, sikap, kemauan, serta minat mereka dalam belajar. Keadaan tersebut sangat mungkin memancing emosi guru.

Contoh gampang, ketika di setiap kelas terdapat lima peserta didik yang membandel, kemudian guru mengajar lima kelas dalam sehari, maka dia berhadapan dengan 25 peserta didik bermasalah. Apalagi jika guru tersebut sedang terbelit masalah keluarga. Bukan mustahil terjadi kekerasan guru terhadap peserta didik atau sebaliknya. Jika sekolah mempunyai pemikiran bahwa guru adalah investasi, jangan sekali-kali keberatan mengeluarkan sejumlah uang untuk mengadakan pelatihan pengelolaan emosi bagi guru.


Penting Memberi Teladan

Penulis sepakat bahwa pembelajaran harus bisa mendorong siswa berpikir kritis. Karena itu pula, model yang paling tepat digunakan adalah mengajak mereka menemukan masalah, mengetahui dampak yang ditimbulkan, dan mencari alternatif pemecahannya. Untuk membuat peserta didik bisa melakukan itu semua memang bukan pekerjaan mudah. Tetapi, dengan motivasi dan pendekatan yang humanis, mereka akan mampu menemukan masalah dan mencarikan pemecahannya.

Dari pembelajaran berpikir kritis, peserta didik diarahkan untuk mengomunikasikan ide dan gagasannya melalui artikel sederhana. Mungkin diawali lima atau tujuh paragrah, lalu di sampaikan di kelas. Peserta didik lain diberi kesempatan untuk memberikan komentar. Bila perlu, artikel berisi gagasan itu dikirim ke media cetak.

Agar peserta didik mau melakukan hal tersebut, guru perlu memberi contoh terlebih dulu. Ketika ide dan gagasan guru dimuat di media cetak, peserta didik akan bangga karena teladan mereka diakui oleh masyarakat. Yang tidak kalah penting, hal tersebut juga menjadi sarana uji publik kemampuan kritis guru. Ini perlu disosialisasikan.

Menghidupkan pembelajaran juga perlu dilakukan saat ujian. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah memberikan iringan musik ketika siswa sedang mengerjakan soal. Paling tidak, hal itu bisa membantu siswa untuk tidak tegang, kemudian memfokuskan diri dalam mengerjakan soal.

Tentu bukan asal musik yang dapat diputar saat ujian. Musik instrumen sangat positif menurunkan tekanan kerja otak. Berdasarkan pengalaman penulis, peserta didik merasa terbantu mengerjakan ulangan disertai iringan musik instrumental. Alat yang dipakai sederhana, sebuah tape dan satu kaset, Bukan barang mewah kan. (*)
Kukuh Widyatmoko
Guru Sosiologi SMAK Santa Maria Malang

*) Dimuat di Jawa Pos Kolom Untukmu Guruku 13 Februari 2008

Tidak ada komentar: