Senin, 09 Februari 2009

Sempat Down Tiga Tahun, Kini Masuk KBM *)

Kukuh Widyatmoko SPd MPd, Tak Lekang Asa Ajak Menulis
Identitas penulis kian melekat dalam diri Kukuh Widyatmoko SPd MPd sejak tujuh tahun terakhir. Kini, ia aktif di berbagai kegiatan berkaitan dengan menulis, seperti mengikuti Forum Penulis Kota Malang (FPKM), pembina esktrakurikuler jurnalistik hingga menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Setaman CU, media internal anggota suatu koperasi.
Namun tidak dinyana, guru SMAK Santa Maria ini pernah memutuskan tidak menyentuh dunia menulis selama tiga tahun. Alasannya, tulisan hasil karyanya tidak pernah dimuat lagi di media cetak. ”Sempat down, sehingga akhirnya memilih untuk tidak berkecimpung dengan dunia menulis dan membaca,” kenang Kukuh.
Padahal waktu itu, salah satu alasan Kukuh menulis ialah agar dimuat. Apalagi, ketika kali pertama tulisannya dimuat di majalah Simfoni terbitan ibukota, keinginan menulis pun semakin kuat. Produktivitas menulis Kukuh semakin tinggi, harapan dimuat pun semakin besar. Namun apa daya, beberapa bulan lamanya, tidak satupun tulisan Kukuh yang dimuat.
Kekesalan tersebut ditumpahkan dengan tidak menekuni aktivitas menulis. Ia lebih getol mengikuti kegiatan keorganisasian. Saking banyaknya organisasi yang diikuti, Kukuh sampai kewalahan membagi waktu. Selang beberapa tahun, kerinduan terhadap menulis membuncah. Kukuh mencoba mengulang memori lama mengenai kepenulisan.
Lambat laun, bakat menulis bapak satu anak ini mulai terasah, karena ia telah mengubah orientasi menulis, mulai dari sekadar honor menjadi sarana berlatih dan mengungkapkan pendapat.
”Untuk kali pertama sejak berhenti menulis, karya tulis pribadi bernuansa kerohanian ini dimuat di website www.gloria.net,” kata Kukuh.
Menulis bukan lagi berdasarkan keinginan untuk dimuat, sebab alasan demikian justru merupakan kesalahan besar bagi seorang penulis. Bahkan Kukuh memiliki alasan pribadi telah mengubah orientasi menulisnya. ”Sebab yang terjadi, tidak satupun karya tulis saya yang dimuat di media,” ungkapnya.
Bisa jadi dikarenakan tulisan terkesan dipaksakan untuk mengejar materi, sehingga malah tidak menghasilkan karya tulis yang berbobot dan layak dibaca banyak orang. ”Setelah vakum sekian tahun, baru menyadari bahwa menulis bukan mengejar materi semata, melainkan tumbuh atas keinginan berbagi pengetahuan dengan orang lain,” tandas Arema kelahiran 3 Agustus 1972.
Dikatakan, hingga sekarang sudah puluhan kali ia menembus media nasional, lokal maupun komunitas baik cetak maupun elektronik. Saking seringnya mengirimkan tulisan dan dimuat, Kukuh pun ditawari mengisi rubrik secara tetap di media elektronik. ”Saya tidak dapat merinci secara tepat jumlah tulisan yang sudah dimuat. Namun, semua tulisan tersebut saya kumpulkan sebagai dokumentasi,” katanya.
”Sebagian besar tulisan saya berupa non fiksi. Pernah mencoba menulis fiksi, namun tidak pernah selesai dan saat dibaca ulang hasilnya tidak semaksimal non fiksi. Mungkin terbiasa mengandalkan logika dengan menyesuaikan fakta dan opini pribadi, bukan mengembangkan imajinasi,” ucap Kukuh tersenyum.
Di sela-sela kesibukan mengajar dan aktivitas di luar berkaitan dengan menulis, Kukuh tetap meluangkan waktu demi meluapkan ambisi pribadi untuk terus menulis. ”Seringkali muncul ide tapi tidak dapat segera dituangkan, karena tingkat mobilitas terlalu tinggi. Sebisa mungkin mencari waktu luang untuk menyalurkan keinginan menulis,” ujarnya.
Namun, Kukuh menyadari aktivitas menulis pun tidak dipaksakan. Tatkala memiliki waktu senggang, ide-ide segar kerap sulit muncul. ”Jika selesai pun, membutuhkan waktu berjam-jam. Sebaliknya, saat menulis dengan hati, tidak sampai satu jam sudah menghasilkan satu judul tulisan,” ungkapnya.
Sebagai guru, kegiatan Kukuh tidak jauh-jauh dari siswa, alhasil aktivitas menulis pun merambah pada kegiatan belajar mengajar. Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial ini membiasakan seluruh siswa yang diajarnya agar menulis. Tidak secara paksaan, melainkan memberi kesempatan siswa memperoleh nilai 100 tanpa mengikuti ulangan harian.
”Awal tahun baru, saya selalu menyosialisasikan kepada siswa tentang kemudahan mendapat nilai tanpa ikut ulangan, yakni siswa dapat menulis baik berupa opini maupun surat pembaca kemudian dikirimkan ke media cetak. Bagi tulisan yang dimuat, secara otomatis mendapat nilai 100. Namun syaratnya, harus mencantumkan nama sekolah, sekalian promosi kepada masyarakat,” katanya.
Sebagai pengajar sosiologi, Kukuh memang tidak memberikan materi menulis secara khusus. Ia hanya memberikan kiat praktis yang berasal dari pengalaman menulis secara otodidak. ”Suatu opini berisi mengenai fakta suatu permasalahan, pendapat pribadi dan solusi yang ditawarkan,” bebernya.
Sesungguhnya tidaklah berat bagi mereka yang mau menulis. Namun, tidak semua siswa suka menulis, sehingga ada saja yang protes terhadap kebijakan tersebut. ”Jika sudah demikian, saya hanya mendorong dan tidak memaksa. Sedangkan bagi siswa yang berpotensial, saya kerap mendorongnya supaya tetap menekuni aktivitas menulis, walau tidak lagi diiming-imingi nilai 100,” pungkasnya. .tia-KP

*) Dimuat di Koran Pendidikan 6 Oktober 2008

Tidak ada komentar: